Halaman

Kamis, 24 November 2011

Gerwani II (Keganjilan pemberitaan tentang gerwani)

Beberapa keganjilan penting diperhatikan berkaitan dengan tuduhan-tuduhan akan keterlibatan Gerwani. Pertama, tak satu pun dari perempuan-perempuan yang member kesaksian dan ditahan pernah dibawa ke pengadilan untuk membuktikan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa penyiksaan dan pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Dari kesaksian para pimpinan dan anggota Gerwani yang dipenjarakan di LP Bukit Duri, Jakarta, diperoleh cerita bahwa perempuan-perempuan muda yang kesaksiannya dikutip di berbagai media massa, seperti Djamilah, Sainah, dan Sakinah, bukanlah anggota Gerwani dan tidak pernah mengikuti kegiatan pelatihan sukarelawati di Lubang Buaya. Beberapa dari mereka adalah pekerja seks di daerah Senen yang ditangkap, disiksa habis-habisan, kemudian dipaksa mengakui skenario cerita yang telah dibuat pihak militer. Baru di penjaralah para pimpinan dan anggota Gerwani bertemu dengan perempuan-perempuan muda ini, dan mengetahui sumber kisah-kisah yang disebarkan di media massa tentang mereka. Bahkan, “Tari Harum Bunga” itu pun ”diciptakan” di LP Bukit Duri oleh aparat keamanan yang meminta perempuanperempuan tersebut menari-nari sambil berteriak-teriak untuk kemudian diabadikan dengan kamera. Kedua, di tengah pemberitaan gencar tentang tindakan kejam dan biadab yang dilakukan aktivis-aktivis Gerwani terhadap para jenderal terdapat pula pemberitaan lengkap tentang proses terbunuhnya paling tidak tiga orang jenderal, yaitu Achmad Yani, D.I. Pandjaitan, dan M.T. Harjono di harian-harian yang dikelola militer. Harian-harian ini menggambarkan bahwa ketiga jenderal ini segera tewas di kediaman masing-masing akibat tembakan beruntun yang dilancarkan anggota pasukan Pasukan Pengawal Presiden Resimen Tjakrabirawa di bawah komando operasional Letnan Satu Doel Arief.35 Selain itu, pada edisi 16 November 1965, harian Angkatan Bersendjata memuat kesaksian seseorang yang bernama Suparno yang menyatakan bahwa lima dari tujuh perwira korban pembunuhan tewas oleh tembakan, sedangkan dua lainnya – Mayjen. Suprapto dan Letnan Satu Pierre Tendean – disiksa sebatas dihantam dengan popor senapan. Keganjilan ketiga, yang tidak kalah pentingnya, adalah hasil otopsi terhadap masing-masing jenazah para korban yang tidak menyatakan adanya tanda-tanda penyiksaan seperti yang diungkapkan dalam pemberitaan di surat kabar. Luka-luka dan cedera yang bukan akibat tembakan tidak menunjukkan penganiayaan dengan silet atau pisau lipat, melainkan akibat tusukan bayonet, kemungkinan hantaman popor senjata, pengikatan yang terlalu erat, atau benturan dengan benda-benda tumpul

Gerwani I (Beberapa pemberitaan tentang gerwani penghujung 1965)

Pemberitaan-pemberitaan ini saya kutip dari Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan. Silakan dibaca ini terlebih dahulu sebelum ditulis lebih banyak lagi tentang Gerwani :).

Angkatan Bersendjata, 11 Oktober 1965:
... sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para Jenderal, dengan menggosok gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.

Duta Masjarakat, 12 Oktober 1965
Bahkan menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari-nari telanjang di depan korban-korban mereka, tingkah laku mereka mengingatkan kita pada upacara kanibalisme yang dilakukan suku-suku primitif berabad-abad yang lalu. Marilah kita serahkan pada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan orang-orang Gerwani yang bermoral bejat lebih buruk dari binatang.

Angkatan Bersendjata, 14 Oktober 1965
(tanggal 12 Oktober 1965 kantor-kantor Gerwani dibakar demonstran) Dari penggeledahan di semua kantor Gerwani diperoleh sejumlah dokumen Gerwani yang membuktikan bahwa Gerwani merencanakan
untuk melakukan tindakan teror menyabot perekonomian, perdagangan dan produksi.

Sinar Harapan, 2 November 1965
Di Karang Asem, Jawa Tengah, sumber-sumber ABRI melaporkan 97 orang telah dibunuh orang Komunis. Menurut sebuah keterangan yang disebarkan kepada rakyat Karang Asem dengan bantuan Pemuda Rakyat dan Gerwani, para pengacau PKI menyerukan kata-kata suci Allahu Akbar, lalu melempar debu ke mata penduduk desa. Tetapi cara-cara licik dan primitif ini akhirnya terbuka kedoknya, karena gerombolan PKI itu menggunakan cara-cara yang sangat mudah dikenali, mereka tidak berpakaian selembar pun.

Berita Yudha, 4 November 1965
Dokumen-dokumen membuktikan adanya gerombolan Kucing Hitam yang mendapat tugas membakar rumah orang-orang non-komunis, juga hutan-hutan dan merusak berbagai instalasi vital. Bekerja sama dengan mereka adalah gerombolan Kancing Hitam yang terdiri dari Gerwani berparas cantik yang telah melacurkan diri dan mendekati pimpinanpimpinan partai lain untuk membujuk mereka agar mendukung program PKI.

Sinar Harapan, 8 Desember 1965
Saina, 17 tahun, anggota Gerwani, telah beberapa kali disuntik selama latihan enam setengah bulan di Lubang Buaya. Setelah diinjeksi itu ia merasa nafsu syahwatnya menjadi liar. Menurut Kepala Tim Interogasi Pepelrada Jabar, Mayor A Danamihardjo SH, selama enam setengah bulan latihan, Saina harus bersaing dengan 199 orang anggota Gerwani lainnya dalam melayani 400 orang laki-laki, yang juga dilatih di sana dengan harapan bisa merebut “Hadiah Kuda Emas” yang pernah dijanjikan DN Aidit kepada mereka ... Aidit pernah pidato di barak latihan bahwa sukarelawan PKI tidak perlu merasa terkekang oleh aturan-aturan agama, sebaliknya mereka melakukan hubungan jenis satu sama lain secara bebas


Angkatan Bersendjata, 13 Desember 1965
Saina ikut ambil bagian dalam “Tarian Harum Bunga” yang setiap hari dipertunjukkan dengan telanjang bulat. Laki-laki 400 orang yang ada menonton 200 orang perempuan, kemudian dilanjutkan dengan hubungan kelamin secara bebas, yang kadang-kadang seorang perempuan harus melayani 3 atau 4 orang laki-laki.

Angkatan Bersendjata, 15 Desember 1965
Seorang perempuan mengaku bernama Sakinah membeberkan kepada wartawan, “Selain dari melayani seks anggota-anggota Pemuda Rakyat, mereka diajar juga tentang cara memotong kemaluan kucing.
Kemudian mereka mendapat tugas memotong dua orang tentara dari Divisi Diponegoro dan dua orang pedagang dari Tegal, yang mula-mula mereka pikat dengan berpura-pura sebagai pelacur.