Halaman

Minggu, 05 September 2010

Saya harap anda tidak akan setuju perang Indonesia Vs Malaysia setelah membaca ini!!

Pertama-tama yang membaca ini harus membaca dengan kepala dingin dan dengan logika. Saya yakin saudara-saudara yang mendukung perang tidak lain tidak bukan karena rasa nasionalisme yang tinggi. yang menolak untuk berperang pun bukan berarti mereka takut, tapi karena beberapa mereka mempuyai pertimbangan yang matang.Nah nampaknya saya berada kepada posisi ini. Saya akan paparkan kenapa sebaiknya perang tidak dilakukan.

1.Pemicu Perang Dunia 3

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa malaysia mempunyai kesepakatan dengan 5 negara. Malaysia memiliki sistem aliansi pertahanan dengan Inggris, Australia, Singapura, serta Selandia Baru. Aliansi itu disebut sebagai Five Power Defense Agreement (FPDA). Salah satu kesepakatan negara-negara FPDA adalah klausul bahwa serangan terhadap salah satu negara anggota merupakan serangan pula terhadap negara anggota lainnya. Tentunya untuk menghadapi ini indonesia juga kan menjalin aliansi dengan negara lain. the question is: "sampai berapa negara yang terlibat?" Tidak itu saja. Bila dalam konfrontasi nanti negara kita berhadapan dengan Inggris, negara tersebut sangat mungkin meminta artikel lima NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) diaktifkan. Artikel lima NATO serupa dengan klausul perjanjian FPDA yang intinya menyatakan, serangan yang dialami salah satu negara anggota dianggap sebagai serangan terhadap negara-negara anggota lainnya dan harus dihadapi bersama. Sehingga, konfrontasi dengan Malaysia bisa melebar serta membuat Indonesia harus berhadapan dengan negara-negara anggota NATO.

2.This not Indonesia vs Malaysia

Adakah yang menyadari kalo kedua negara ini perang, siapakah yang akan untung? Kemungkinan terbesar apabila terjadi perang terbuka baik penduduk indonesia walaupun malaysia akan mejadi budak di negaranya sendiri. Just think, emangnya inggris mau bantu malaysia dengan cuma-cuma? Rusia mau mengirimkan persenjataan bgt saja kepada indonesia? ras melayu akan dinjak-injak oleh ras lain. sebenarnya inilah yang harus dipikirkan oleh para pemimpin kita. Semua tidaklah seperti yang terlihat

Perang itu tidak enak, negara-negara berkembang setiap terjadi perang janganlah berharap jadi negara yang makin maju setelah perang. Kemungkinannya sudah bisa ditebak:

1.Di bumi hanguskan or

2.Menjadi budak di negeri sendiri. (ini berlaku buat indonesia dan malaysia) Jadi setelah perang tidak akan ada lagi yang namanya negara Indonesia dengan Malaysia

jadi, masihkkah anda setuju dengan kata "perang"?

ingat setiap perang, korban utamanya adalah wanita dan anak-anak. Agan mungkin laki-laki masih bisa mempertahankan diri, nah sekarang coba pikirkan bagamana dengan wanita dan anak-anak?

saya yakin pak SBY ga akan sembarangan menyatakan perang. Bayangkan kalo agan di posisi dia, nyawa berjuta-juta umat manusia berada di tangan dia kalo dia menyatakan perang. Semua darah yang tumpah berada di tangan dia. Sekarang apakah beliau sudah sanggup memikul beban tersebut?

nih sumbernya gan http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5135066

Cerita tentang Pulau-Pulau Terluar Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri dari 17.504 buah pulau besar dan kecil, memiliki panjang garis pantai sekitar 81.900 km, berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Kawasan perbatasan laut Indonesia Indonesia berbatasan dengan 10 ( Sepuluh ) negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Demikian juga wilayah darat berbatasan langsung dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor, yang sering kita sebut sebagai pulau terluar.

Pulau terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau dengan 2000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar kordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau terluar tersebut berperan sebagai garis depan kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia dan memiliki arti penting dalam penentuan batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga. Dari pulau-pulau terluar ini terdapat titik-titik pangkal yang kemudian apabila diambil garis lurus akan membentuk garis pangkal kepulauan mencakup seluruh wilayah Indonesia serta dijadikan acuan untuk pengukuran lebar wilayah maritim Indonesia, antara lain untuk penentuan batas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), ZEE – Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut), dan landas kontinen (hingga 350 mil laut atau lebih).

Semakin banyaknya pulau maka semakin banyak pula permasalahan yang muncul. Apabila kita sebut saja satu pulau memiliki dua permasalahan, dan tentunya akan lebih dari dua permasalahan, maka sudah ada sekitar 35.012 permasalahan di negeri ini. Wilayah negara yang begitu luas dan perkembangan yang tidak seimbang di setiap pulau, mengakibatkan banyak pulau-pulau yang terasingkan dari perhatian pemerintah. Pemerintah cenderung acuh tak acuh terhadap permasalahan di pulau-pulau terluar negara kita yang jauh dari pusat pemerintahan. Ironis sekali ketika negara lain sedang gencar-gencarnya mengembangkan pulau-pulau terluarnya, Indonesia malah belum memberikan nama atas seluruh pulau yang dimiliki negeri ini. Mengelola dan memberikan nama identik dengan klaim kedaulatan atas suatu wilayah.

Menyadari kekeliruan yang terjadi selama ini, Indonesia bertekad memberikan nama atas seluruh pulaunya dalam tahun 2007. Sebanyak 92 pulau terluar telah diberikan nama, meski pulau itu luasnya hanya berkisar 0,01 – 400 kilometer pesegi dan sebagian besar tidak ada penduduknya. Setelah memberikan nama atas 1.466 pulaunya di tahun 2006, Indonesia berupaya memberikan nama atas 6.702 pulau lainnya di tahun 2007. Dengan demikian, sekitar 17.500 ribu pulau yang dimiliki Indonesia sudah memiliki nama tahun 2007. Tetapi tentu, pemberian nama saja sangat tidak cukup untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selama ini ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pulau-pulau terluar, antara lain : eksistensi dan kelangsungan keberadaan pulau itu sendiri, lokasi pulau yang terisolasi, dan masalah kesejahteraan masyarakat di sekitar pulau itu. Ancaman pulau-pulau kecil terhadap bencana, salah satunya sea level rise, pun patut diperhatikan. Bencana lain yang mungkin timbul antara lain seperti badai tropis atau tsunami yang melanda pulau-pulau kecil tersebut. Persoalan yang mungkin timbul dari bencana di pulau-pulau terluar atau pulau-pulau kecil adalah akses yang jauh, yang jauh menyebabkan bantuan biasanya lebih lambat datang, seperti sesudah terjadi gempa bumi di Nias dan Simeulue, dan infrastruktur yang biasanya kurang lengkap. Di sisi lain, infrastruktur yang kurang lengkap mengakibatkan pemerintah daerah kurang memiliki kapasitas di dalam menangani persoalan emergensi.

Permasalahan lain yang muncul dari dalam negeri sendiri misalnya, sampai saat ini pemerintah belum mampu memberdayakan ribuan pulau yang tersebar di seluruh perairan nusantara. Bahkan beberapa pulau kecil di wilayah perairan dalam atau perairan kepulauan, misalnya digugusan kepulauan Nias, dan Karimun Jawa, banyak dikelola dan dimiliki warga negara asing. Padahal sudah jelas dalam UU agraria tidak diperkenankan warga negara asing memiliki wilayah di Negara Indonesia.

Upaya pengamanan wilayah perairan nusantara masih jauh dari harapan, , terlebih lagi dengan pulau-pulau kecil terluar yang dimilikinya. Padahal jika ditinjau dari posisinya, pulau kecil terluar ini sangat strategis untuk menarik garis batas laut teritorial, zona tambahan, batas landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sudah semestinya pulau-pulau tersebut kita lindungi karena pada hakekatnya disinilah gerbang terdepan pertahanan dan kedaulatan negara ditempatkan. Memang tidak bisa dipungkiri dengan tingkat perekonomian negara saat ini, besarnya anggaran adalah menjadi kendala utama. Hal ini berimplikasi pada minimnya kekuatan dan jumlah armada patroli baik laut maupun udara yang bertugas untuk memantau dan melindungi pulau-pulau terluar ini. Selain itu, penanganan masalah kelautan selama ini masih bersifat sektoral (perikanan kelautan, pertambangan, perhubungan, pariwisata, pertahanan keamanan, energi dan lingkungan) di mana masing-masing instansi pemerintah tersebut memiliki kebijakan, cara pandang, dan tujuan pengelolaan yang berbeda-beda, sehinga masing-masing instansi tersebut berjalan sendiri sesuai dengan kebijakan dan tujuanya. Begitu juga dengan upaya pengamanan dan penegakan hukum di laut masih ditangani instansi sektoral yang masing-masing didukung oleh Undang-Undang sendiri sehingga kemampuan pengembangannya bersifat sektoral pula.

Delimitasi batasan maritim, khususnya dengan negara yang memiliki batasan maritim dengan Indonesia, adalah permasalahan yang tidak kalah penting berkaitan dengan pulau-pulau terluar. Delimitasi batas maritim harus dilakukan dengan perundingan sesuai dengan hukum internasional dan praktek-praktek negara yang memiliki aspek internasional tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara. Jika perundingan sulit mencapai kesepakatan, perlu diupayakan penyelesaian melalui pihak ketiga. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh dalam permasalahan ini adalah lepasnya pulau terluar Sipadan dan Ligitan. Lepasnya dua pulau ini ke tangan Malaysia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Walaupun secara teritorial sejauh 12 mil laut serta menurut perjanjian antara Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk ke dalam wilayah kedaulatan NKRI, namun Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di kedua pulau ini. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation). Sementara, Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia. Kekhawatiran terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke negara lain (Sipadan-Ligitan). Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia, Philipina, dan Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 29 Desember 2005 terdapat 92 pulau terluar di wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan negara tetangga yang nasibnya diharapkan jauh dari nasib Sipadan-Ligitan

Ke-92 pulau terluar yang menjadi kawasan perbatasan dengan negara lain itu mempunyai semua permasalahan yang disebutkan di atas. Sesungguhnya, tantangan yang dihadapi di perbatasan bukan saja dari segi politik, administrasi, hukum dan diplomasi dengan negara tetangga. Akibat pemanasan global diprediksikan akan terjadi sejumlah permasalahan di wilayah perbatasan Eropa, Asia, Amerika bahkan di seluruh dunia. Naiknya suhu dan permukaan air laut merupakan hasil alamiah yang mendorong laju daratan atau pulau-pulau tenggelam sehingga menghilangkan batas-batas fisiografi yang menjadi penentu titik awal pengukuran teritorial laut (12 mil laut), contigous zone (24 mil laut) dan economicexclusive zone (200 mil laut). Jika ditelusuri, sejak tahun 1982 pulau-pulau di Indonesia sudah berkurang. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur populasi, politik-administrasi, abrasi dan lingkungan alam sekitarnya. Contohnya: Pulau Kambing dan Pulau Yako yang kini menjadi wilayah hukum Republik Demokratik Timor Leste sejak tahun 1999. Pulau Sipadan dan Ligitan sejak putusan ICJ 17 Desember 2002 dan di Kepulauan Seribu ada lima pulau yang hilang akibat pengerukan wilayah perairan sekitarnya yakni: Pulau Dapur (1988), Pulau Ubi Kecil (1980), Pulau Ubi Besar (1987), Pulau Nirwana (1986), Pulau Ayer Kecil (1985). Bahkan, menurut Ali Motchar Ngabalin: “jika tidak diantisipasi Indonesia akan kehilangan 2000 pulau pada tahun 2030.”

Kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh orientasi daratan sangat mempengaruhi pola fikir dan cara pandang masyarakat dan juga pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan peraturan mengenai orientasi pembangunan baik ekonomi maupun politik. Sebagai salah satu contoh dengan dikeluarkannya UU otonomi daerah No. 22 Th 1999 yang mana pemerintah pusat memberikan kewenangan atau otoritas kepada daerah (regional) tidak hanya sebatas urusan pemerintahan semata namun juga dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimilikinya, termasuk sumberdaya kelautan. Namun sayangnya sampai saat ini masih banyak daerah yang memahami konsep desentralisasi ini hanya terbatas pada wilayah daratan semata sehingga sebagian besar kebijakan yang dikeluarkan hanya difokuskan pada sumberdaya daratan, padahal bagi propinsi, kabupaten/kota tertentu esensi otonomi daerah juga ada di wilayah laut.

Dalam konteks ini otonomi diartikan tidak hanya menjadikan daratan sebagai objek utama pembangunan namun juga menjadikan laut sebagai sumber kekuatan baru dalam mendukung pembangunan baik daerah maupun nasional. Dalam Forum Koordinasi dan Konsultasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Menakertrans mengungkapkan belum tercerminnya konsep negara kepulauan dalam sistem pembangunan nasional tersebut dapat dilihat pada Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2005 tentang indikator Dana Alokasi Umum (DAU), juga lebih berpihak kepada wilayah daratan, sehingga laju pembangunan kepulauan lebih lambat dibandingkan propinsi lainnya. Lebih jauh lagi Menakertrans menjelaskan bahwa permasalahan mendasar provinsi kepulauan tidak adanya peraturan yang mengadopsi kebutuhan negara kepulauan, terbatasanya pelayanan kepada masyarakat, dinamika ekonomi terbatas dan berskala kecil, rentang kendali terlalu luas dalam melaksanakan pemerintah, terbatasnya sumber pembiayaan baik APBN maupun APBD, serta rentan terhadap infiltrasi dan intervensi dari negara tetangga.

Kultur dan pola fikir masyarakat dan juga pemerintah yang masih belum terfokuskan pada pembangunan di sektor kelautan ini juga menyebabkan potensi sumber daya kelautan yang begitu besar dimiliki bangsa ini sebagian besar dimanfaatkan oleh bangsa lain. Sebagai contoh sektor perikanan (tangkap dan budidaya) sampai saat ini belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah akibatnya miliaran dolar setiap tahunnya ikan dari perairan bangsa ini dicuri oleh nelayan asing, hanya 40% transportasi laut domestik yang dkelola oleh bangsa Indonesia sendiri dan hanya 5% ekspor dilakukan oleh kapal domestik. (Soemarwoto, Kompas 2004).

Pulau-pulau terluar Indonesia yang notabne menjadi benteng terdepan yang berhadapan dengan negara-negara tetangga haruslah dijaga demi keutuhan bangsa ini. Ada beberapa hal yang harusnya dilakukan, yaitu:

  1. Maksimalkan potensi dan daya guna pulau tersebut terhadap sesuatu hal. Karena percaya tidak percaya sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini sangat luar biasa. Cuman sayangnya pemerntah belum bisa mengelolanya dengan baik. Buktinya pulau Sipadan-Ligitan yang sebelum menjadi milik Malaysia atau masih menjadi milik Indonesia adalah pulau terluar tak terurus yang terasingkan. Tapi kita lihat setelah pulau itu menjadi milik Malaysia, Sipadan-Ligitan dengan pariwisata alamnya direkomendasikan untuk menjadi keajaiban dunia baru.
  2. Tindakan pengamanan yang intensif dari pasukan pemelihara perbatasan dalam hal ini dilakukan oleh TNI maupun POLRI. Kita bisa mengambil contoh dan pelajaran dari kejadian pengejaran kapal patroli Singapura terhadap kapal yang dinaiki sejumlah menteri sebagaimana ramai diberitakan oleh mass media, hal ini menunjukkan betapa mereka sangat menjunjung tinggi kedaulatan teritorial. Tindakan pengamanan tidak hanya dilakukan pada wilayah kelautan maupun kepulauan semata, namun juga pada wilayah daratan. Kasus penembakan BPU Timor-Timur terhadap Danpos Satgas Pasukan Pengaman Perbatasan Indonesia dapat dijadikan pelajaran. Pengamanan ini juga berguna untuk memberitahukan kepada warga negara Indonesia seperti nelayan yang berpotensi melanggar batas wilayah kelautan bahwa dia bisa diperingatkan oleh pasukan pengaman perbatasan kalau sudah melewati batas teritorial, sehingga kasus tewasnya nelayan Indonesia yang ditahan dan penangkapan 240 nelayan Indonesia oleh pasukan perbatasan Autralia tidak perlu terjadi.
  3. Diadakannya pembangunan di pulau terluar.Pembangunan di segala sector diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.
  4. Transmigrasi. Pemerintah seharusnya mengadakan program transmigrasi ke pulau-pulau terluar sehingga tidak ada lagi pulau yang tak berpenghuni.

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. NKRI yang berupa Negara Kepulauan selain menyimpan potensi sumber daya alam yang begitu melimpah juga terdapat berbagai macam permasalahan yang harus dihadapi sebagai implikasi dari Negara kepulauan tersebut diantaranya adalah pertama dalam hal penanganan masalah kelautan, kedua kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang masih dominant berorientasi pada daratan dan ketiga adalah delimitasi batas maritime dengan negara lain.

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan konflik yang satu ini, terbukti konflik Sipadan dan Ligitan memakan waktu lebih dari 30 tahun untuk sampai pada keputusan final, namun bukan berarti hal itu menjadi hambatan bagi pemerintah negara-negara yang tersangkut masalah perbatasan untuk menunda-nunda menyelesaikan permasalahan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam kasus Ambalat yang di komandoi oleh Departemen Luar Negeri sedikit banyak sudah mampu mereduksi ketegangan yang selama ini muncul, namun mengenai beberapa kasus terakhir seperti permasalahan di perbatasan Timor-Timur dan penangkapan sejumlah besar nelayan oleh pasukan perbatasan Australia belum jelas jluntrungnnya.

Berbagai metode penyelesaian sengketa mulai dari pembicaraan antar negara yang berselisih, arbitrasi, sampai pada membawa sengketa kepada Mahkamah Internasional merupakan hal yang sah-sah saja untuk ditempuh pemerintah, namun satu yang pasti dan dinginkan oleh masyarakat adalah bahwa persolan yang telah diputuskan tidak membawa imbas yang akan mengakibatkan persoalan baru. Kita tidak tahu apakah sebelumnya pemerintah kita sudah memprediksikan bahwa keputusan Mahkamah Internasional tentang Sipadan dan Ligitan akan berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Karena dalam kasus Ambalat ada indikasi bahwa pemerintah Malaysia berpendapat hal ini merupakan konsekuensi keputusan final Mahkamah Internasional mengenai kasus Sipadan dan Ligitan lalu.

Sebenarnya hal-hal seperti inilah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, dan kita selaku warga negara juga memiliki hak serta berkewajiban untuk memperhatikan. Tentu saja masyarakat mengharapkan segera diperhatikannya potensi-potensi yang dapat memunculkan sengketa perbatasan dengan negara tetangga, karena apabila hal ini tidak diperhatikan sesuai dengan judul tulisan ini maka akan menjadi konflik tapal batas yang tanpa batas.

Kenyataan di pulau terluar :

  1. Kesenjangan ekonomi dengan negara tetangga yang semakin tajam dari waktu ke waktu.
  2. Pergeseran batas wilayah negara (termasuk patok-patok) yang cenderung merugikan kepentingan ekonomi dan membahayakan kedaulatan RI (misal kasus Sipadan – Ligitan yang telah lepas atau kasus P. Miangas di Kep. Satal – Sulut yang rawan sengketa).
  3. Semakin maraknya illegal fishing, illegal logging, illegal labour dan berbagai penyelundupan lainnya dari kota-kota perbatasan (misal Nunukan – Malaysia, Tahuna – Davao, Batam – Singapura, Dumai – Malaysia, dsb), yang mengakibatkan hilangnya potensi devisa RI yang cukup besar.
  4. Pelayanan prasarana dan sarana wilayah pada pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan laut masih sangat terbatas sehingga kawasan tersebut menjadi relatif terisolir.
  5. Potensi ekonomi pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan belum dikembangkan secara optimal, misalnya potensi pengembangan sektor-sektor unggulan, pusat-pusat pertumbuhan, berikut outlet-outletnya. Pada saat ini, sebagian besar kawasan perbatasan laut dapat dikelompokkan status perkembangannya ke dalam ‘kawasan tertinggal’.

Harapan yang terjadi untuk pulau terluar atau daerah perbatasan adalah menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda negara dengan mempercepat pembangunan kawasan pusat-pusat pertumbuhan, membuka keterisolasian wilayah dan mengembangkan kerjasama ekonomi sub-regional yang dilakukan secara sinergis dan seimbang dengan perlindungan lingkungan dengan menganut keserasian antara pendekatan keamanan (security) dan pendekatan kesejahteraan masyarakat (prosperity) berbasis karakteristik lokal dengan melibatkan secara aktif pemerintah daerah.