Halaman

Minggu, 29 Juli 2012

Oleh-oleh dari Kalimantan

Pembangunan seringkali diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi, bila kondisi ekonomi suatu masyarakat tinggi maka seringkali pula dikatakan berhasil dalam melaksanakan pembangunan. Nilai yang berkembang di masyarakat menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang tinggi dapat dilihat dari suprastruktur, gaya hidup masyarakat, kehidupan sehari-hari masyarakatnya, dan masyarakat secara fisik. Bila faktor suprastrukturnya bagus, mulai dari jalan dan fasilitas umum, gaya hidup yang mewah, pakaian masyarakatnya yang bagus nan modern, maka dapat diperkirakan bahwa daerah tersebut memiliki kondisi ekonomi yang tinggi dan stabil. Perkiraan tersebut sepertinya tidak berlaku bagi wilayah Kalimantan, terutama wilayah-wilayah yang jauh ke pedalaman. Luas wilayah sebuah kabupaten di Kalimantan sama luasnya dengan sebuah provinsi di Jawa. Bukan untuk membandingkan antara Jawa dan Kalimantan namun terkadang perbandingan antar dua wilayah dirasa perlu untuk melihat persamaan dan perbedaan sehingga dapat dijadikan sebagai pemacu untuk menuju perbaikan daerah. Di Jawa, kita akan mudah menilai sebuah keluarga apakah tingkat ekonominya tinggi atau tidak dari kondisi rumah dan cara berpakaian. Namun kembali, penilaian tersebut tidak akan berlaku di Kalimantan, terutama yang di pedalaman-pedalaman. Kita tidak dapat dengan mudah mengatakan bahwa Kalimantan tertinggal dari Jawa dari segi ekonomi. Kalimantan sudah jauh dari kata primitif, terlihat dari mudahnya kita untuk menemukan televisi dan TV Kabel, telepon genggam, komputer jinjing, kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat, dan lagu-lagu masa kini di pelosok-pelosok Kalimantan. Hal ini terjadi karena perkembangan tekhnologi mendukung mereka dalam mangatasi keterbatasan yang disebabkan oleh alam, misalnya orang-orang Dayak harus memiliki kendaraan pribadi untuk menjual hasil panen mereka. Kendaraan yang dimiliki pun harus menunjang fasilitas infrastruktur yang ada, jalan yang rusak dan berdebu, medan jalan yang terjal berbatu karena belum tersentuh Dinas Pekerjaan Umum, dan belum tersedianya alat transportasi umum. Maka jangan heran bila kita akan banyak melihat mobil-mobil sport yang harganya mahal berseliweran di Kalimantan, bahkan mobil-mobil tersebut pun berkeliaran bebas di desa-desa pelosok di tanah Kalimantan. Begitu pula dengan perkembangan teknologi komunikasi, orang-orang Dayak yang sering dianggap primitif bahkan telah mengenal komunikasi. Meskipun Telkom, sebagai perwakilan pemerintah dalam hal komunikasi, belum masuk secara merata di Kalimantan, orang-orang Dayak tidak dengan mudah mengangkat bendera putih dalam menunjang perkomunikasian mereka. Sebagian besar orang Dayak telah mengenal telepon genggam, meskipun sinyal yang didapat lebih sering sinyal dari negara tetangga. Kedua contoh ini menandakan bahwa orang Dayak tidak menutup mata dalam hal kemajuan tekhnologi. Melek-nya orang Dayak dalam hal kemajuan tekhnologi ini sebagai bentuk pertahanan diri orang Dayak karena minimnya perhatian pemerintah. Perputaran uang di Kalimantan tinggi karena harga-harga yang dipatok untuk semua barang jauh lebih mahal daripada di Jawa. Perputaran uang yang tinggi ini disebabkan oleh adanya kemampuan membeli dari orang Dayak sendiri. Orang Kalimantan telah terbiasa dengan harga tinggi yang jauh dari harga di Jawa. Bila orang-orang di Jawa akan protes dan demonstrasi besar-besaran untuk kenaikan harga BBM dari harga 4500/liter menjadi 5500/liter, orang-orang pedalaman Kalimantan sudah terbiasa dengan harga BBM yang mahal, meskipun orang Kalimantan ini minim terhadap pengetahuan tentang kehidupan orang Jawa termasuk pendapatannya. Mahalnya harga BBM dapat ditemui di Desa Tamong, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, harga satu liter bensin sebesar 13000, kemudian di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Kutai Barat kita harus menyisihkan uang 20000 untuk mendapatkan satu liter bensin. Tingginya harga BBM di Kalimantan ini merata di pedalaman-pedalaman Kalimantan, meskipun di daerah kota, misalnya ibukota provinsi dan ibukota kabupaten, kita bisa mendapat harga BBM yang sama dengan yang di Jawa. Perbedaan harga BBM ini bisa disebabkan oleh kurang tersedianya SPBU, dan harga BBM yang tinggi ini dikeluarkan oleh pedagang-pedagang BBM eceran. Bukan hanya harga BBM, harga sembako dan sayur-sayuran pun jauh lebih mahal lagi daripada di Jawa. Untuk harga kacang panjang, di Jawa kita dapat satu kilo kacang panjang dengan harga 4000, namun di Kalimantan tepatnya di Kecamatan Bonti Kabupaten Sanggau, harga kacang panjang tiga kali lipat lebih mahal yakni 12000 untuk per kilo kacang panjang. Kemampuan membeli barang-barang dengan harga yang tinggi ini menunjukan pendapatan warga yang tinggi pula. Pendapatan orang Dayak ini bersumber dari hasil panen dan hasil tambang, karena sektor terbesar di Kalimantan dalam hal sumber pendapatan adalah dari sektor pertanian dan pertambangan. Untuk sektor pertanian dan perkebunan, Kalimantan memang mempunyai lahan yang sangat luas, dan lahan-lahan tersebut adalah tanah adat, maka lahan bisa digunakan oleh siapa pun bahkan oleh pendatang, yang penting telah mendapat persetujuan dari dewan adat. Setiap orang bebas mengolah lahan seluas apapun yang penting mereka mau berladang. Setiap rumah di Kalimantan setidaknya memiliki lahan untuk berladang yang tidak sempit. Gejolak sosial yang mempengaruhi kondisi ekonomi terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Warga pribumi yang tadinya mempunyai lahan sendiri untuk berladang beralih menjadi buruh perusahaan yang beroperasi di sebagian daerah Kapuas Hulu. Lahan-lahan milik pribadi atau lahan adat disewa oleh perusahaan untuk dikelola menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan adanya diplomasi yang bagus dari pihak perusahaan, akhirnya lahan-lahan tersebut berubah menjadi perkebunan sawit, dengan bagi hasil 80% - 20%, tentunya 20% untuk warga pribumi. 20% ini tentunya jauh lebih kecil dari penghasilan awal orang pribumi bila berladang sendiri. Namun karena sudah membuat kontrak terlebih dahulu dengan pihak perusahaan, maka mau tidak mau orang pribumi mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan yang tak ikut berkurang. Menjadi buruh perusahaan sawit akhirnya menjadi pilihan untuk mendapat penghasilan tambahan. Ironis memang, semacam terjajah di negeri sendiri. Gejolak tersebut tidak berlaku di sebagian besar wilayah Kalimantan yang setiap warganya masih mau mengelola lahannya sendiri. Misalnya Ibu Yusvita, warga Desa Pala Pasang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, memiliki seribu pohon karet, ladang sahang, terung, cacao. Dapat dibayangkan uang yang dihasilkan dari hasil panen tersebut yang tidak sedikit meskipun telah dipotong oleh biaya perawatan dan biaya transportasi untuk menjual hasil panen tersebut. Untuk pertambangan pun tidak kalah pamor, Kalimantan Selatan tepatnya Banjarmasin adalah penghasil batubara terbesar di Indonesia, Martapura yang juga di Kalimantan Selatan adalah penghasil intan terbesar di Indonesia. Bukan hanya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Timur pun berperan untuk menunjang pendapatan orang Kalimantan dari hasil tambang, terutama emas. Sepanjang Sungai Kapuas, Sungai Sekayam, Sungai Mahakam, dan Sungai Barito terdapat banyak pendulang-pendulang emas tradisional yang berpenghasilan tidak sedikit. Seperti halnya di Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, setiap hari minimal menghasilkan 0,5 gram emas. Dapat dibayangkan bila menghasilkan 0,5 gram emas seharga Rp 250.000 per hari, pendulang emas tradisional di Desa Konut tersebut berpenghasilan Rp 75.000.000 sebulan. Jauh lebih tinggi daripada penghasilan seorang Kepala Dinas. Bantaran sungai Boh di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, rata-rata penghasilan mendulang emas warga sekitar sebesar 2-3 gram per hari, kembali bila dijumlahkan selama satu bulan akan jauh lebih tinggi dari rata-rata penghasilan di pegawai negeri di Jawa. Bahkan di Baru Lombak, salah satu desa di Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, per harinya bisa menghasilkan 70-80 gram dan capaian tertinggi di Desa Baru Lombak ini mencapai 200 gram dalam satu hari. Namun yang dapat disayangkan dari pengelolaan pertambangan yang melimpah ini adalah dampak lingkungan dan dampak sosial. Selain sektor pertanian dan pertambangan, sebagian orang Kalimantan pun menggantungkan hidupnya pada kekayaan air. Sungai dan pantai menjadi sumber kehidupan di beberapa daerah, tentunya dengan hasil yang tidak sedikit. Misalnya di Pulau Majang, di tengah Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Penghasilan tangkapan bisa mencapai 50000 per harinya, belum ditambah dengan hasil panen keramba yang banyak dimiliki oleh warga sekitar. Keramba-keramba tersebut berisi ikan toman (nama lokal), panen setahun sekali dengan hasil setiap panen mencapai seribu sampai dua ribu ekor. Satu ekor ikan toman beratnya sampai 2-3 kg, dan harga per kilonya mencapai 18000. Bila dibulatkan setiap panen menghasilkan seribu ekor ikan toman dengan berat 2 kg, maka penghasilan setiap panen sebesar 36 juta. Kekayaan hasil air pun terdapat di Desa Temajuk dan Pulau Lemukutan di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat. Untuk di daerah lain di Kalimantan, hasil sungai digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kemungkinan orang Kalimantan untuk kelaparan sangat kecil, karena kekayaan sumber daya alam termasuk hasil sungai dan laut. Kalimantan adalah pulau yang ramah pula bagi para pendatang, selain karena faktor transmigrasi, Kalimantan juga sekarang sudah mulai didatangi oleh para pendatang. Dan pekerjaan bagi para pendatang hampir merata di setiap wilayah di Kalimantan. Biasanya orang-orang Jawa dan China di sebagian besar wilayah Kalimantan bekerja sebagai pedagang. Lain halnya di Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, orang Jawa menjadi penggagas bibit karet bagi pribumi yang mempunyai lahan karet, orang Jawa di sana lebih cenderung menjadi orang yang memasarkan hasil karet ke kota. Dan orang timur seperti orang Flores berprofesi sebagai pencari gaharu di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur. Pendapatan yang tinggi ini tidak dicerminkan dalam kondisi fisik masyarakat Dayak, dalam artian kondisi rumah dan masyarakatnya sendiri secara fisik. Kembali kita bandingkan dengan di Jawa, orang dengan penghasilan sebesar tadi atau paling tidak mendekati dapat dipastikan mempunyai rumah yang mewah dengan gaya berpakaian yang perlente. Tentu sangat berbanding terbalik dengan kondisi orang Dayak yang disebutkan di atas. Kedua sisi ini dapat dilihat dari skala prioritas dalam penggunaan uang, serta perbedaan pandangan tentang bentuk suatu kenyamanan. Orang Kalimantan sendiri, khususnya orang Dayak, bila mendapatkan uang hasil panen atau tambang akan cenderung digunakan untuk kehidupan saat itu juga, tanpa perencanaan ke depan. Misalnya bila saat itu ada kebutuhan untuk mempunyai sepeda motor, maka akan dibeli pada saat itu juga. Juga dengan adanya perayaan pesta yang besar-besaran sebagai bentuk syukur atas hasil panen atau tambang tersebut. Biasanya dalam perayaan pesta tersebut ada acara memotong dan memakan babi rame-rame, meminum minuman keras. Acara meminum minuman keras tersebut adalah bagian dari tradisi orang Dayak yang sampai saat ini masih tetap berlangsung. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut terlihat bahwa orang Dayak belum memiliki perencanaan jangka panjang dalam penggunaan uang, tidak terbiasa menabung, dan uang yang dihasilkan adalah untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Berbeda dengan masyarakat di Jawa yang justru cenderung lebih mementingkan kehidupan jangka panjang dan memprioritaskan pada kenyamanan hidup dan simpanan uang. Jelas berdeba jauh dengan orang Kalimantan. Namun ada fenomena unik yang terjadi di Desa Pala Pasang Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Menurut Ibu Yusvita, warga desa Pala Pasang, ada kebiasaan warga untuk menabung hasil panen tersebut ke CU . Dan besarnya uang yang ditabung di CU ini menunjukan strata sosial warga desa. Dengan ladang dan hasil panen yang disimpan di CU tersebut, Ibu Yusvita tidak berniat untuk merubah gaya hidup dan kehidupan keluarganya. Ibu Yusvita tidak menginginkan untuk merenovasi rumahnya menjadi lebih bagus, membelikan anak-anaknya baju yang lebih layak dan lebih bagus, membuat kamar mandi di rumah yang nyaman, memakan makanan enak, dan membelikan anaknya mainan-mainan. Bila di sebagian besar di Kalimantan Barat lebih memilih CU untuk menyimpan uang, berbeda dengan Hulu Sungai Tengah. Warga lebih memilih ikut arisan untuk menyimpan uang. Arisan tersebut berskala desa yang diikuti oleh sebagian warga. Misalnya di Desa Paramasan Atas, Kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, setiap anggota arisan harus menyisihkan uang 200 ribu per minggu dan bila menang arisan akan mendapatkan uang sebesar 18 juta. Arisan akan dibuka setiap satu minggu sekali. Dengan sedikit gambaran di atas, kita tidak dapat menilai kemampuan ekonomi masyarakat di Kalimantan dilihat dari rumah yang bagus, penampilan yang perlente, fasilitas umum yang mumpuni, dan gaya hidup yang mewah. Dengan begitu, Kalimantan menjadi pulau di Indonesia yang luar biasa. Adil katalino, bacuramin kasaruga, basengat kajubata!

Kesan dan pesan yang harus ditulis dlm 3-5 halaman :D

Kalimantan adalah pulau terluas di Indonesia dengan segala macam keragaman budaya, alam, dan manusianya. Keragaman tersebut awalnya menimbulkan kemisteriusan yang teramat sangat dalam benak saya. Namun setelah mengikuti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 yang digagas oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus), sedikit dari kemisteriusan itu pudar. Mengingat cerita awal keikutsertaan di Tim Ekspedisi Khatulistiwa membuat hati saya tergelitik. Bagaimana tidak, persiapan untuk berangkat ekspedisi sangat teramat minim. Perlengkapan dalam jumlah banyak yang harus dibawa hanya disiapkan 12 jam sebelum berangkat, izin orang tua dan keluarga saya dapatkan dalam perjalanan menuju Pusdik Passus Batujajar, dua mata kuliah yang diambil (tepatnya ngulang) saya abaikan (khusus untuk ini ada pembenaran :p), dan tentunya skripsi yang baru dirintis pun harus diistirahatkan sejenak. Semua hal yang menggelitik itu saya relakan dengan ikhlas karena satu hal, yaitu mimpi, mimpi untuk jauh lebih mengenal pulau yang menurut saya paling misterius, Kalimantan! Bila merunut dari semua mimpi yang saya inginkan untuk masa depan, Kalimantan memang berada di posisi atas meskipun bukan yang pertama. Besar keinginan saya untuk tinggal jauh di pedalaman Kalimantan dan bercengkrama dengan orang-orang suku asli Dayak yang anak-anaknya tak punya sepatu dan tak mengenal tekhnologi. Pikir saya dulu, tinggal 3,5 bulan di Kalimantan akan jadi kick off yang sempurna untuk mewujudkan keinginan saya. Ternyata apa yang saya bayangkan tentang Kalimantan dan segala ke-primitif-annya tidak saya temukan seutuhnya. Di Ekspedisi Khatulistiwa, saya bergabung dengan Tim Sub Korwil 02/Sanggau. Sanggau adalah sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang luasnya sama dengan provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sanggau berbatasan langsung dengan Malaysia. Kondisi masyarakat perbatasan pun telah jauh lebih kompleks dari apa yang saya bayangkan dulu. Berbicara Kalimantan tidak akan pernah cukup hanya dengan sebuah tulisan berhalaman 3 atau bahkan 5 sekalipun, untuk itu tulisan ini didedikasikan untuk penggalan-penggalan cerita saya selama mengikuti Ekspedisi Khatulistiwa 2012, khususnya bersama dengan Tim Sub Korwil 02/Sanggau. Kebersamaan saya dengan Tim Sanggau dimulai ketika seluruh peserta ekspedisi, khususnya mahasiswa, dibagi-bagi korwil oleh Pakor Ahli. Dan ternyata Sanggau adalah pilihan terbaik dari Alloh SWT untuk saya. Senangnya bukan main karena pada awalnya penelitian yang akan saya teliti lebih lanjut adalah tentang nasionalisme di wilayah perbatasan, tentu Entikong yang akan menjadi pusat penelitian saya . Bersama Tim Sanggau, saya lebih jauh mengenal tentara. Yak! Tentara Nasional Indonesia, yang akhirnya saya menyadari bahwa saya teramat telat mengenal tentara. Namun untuk suatu pembenaran, lebih baik telat daripada tidak sama sekali :p.Hampir empat bulan bersama-sama dengan tentara membuat rasa keoptimisan saya terhadap Indonesia menjulang tinggi. Benar! Saya menjadi jauh lebih optimis dengan Indonesia, lebih menghargai simbol-simbol negara, lebih merasa khidmat bila mendengarkan lagu Indonesia Raya, lebih merasa penting untuk merayakan Hari Kebangkitan Nasional, dan tentu saja lebih merasa aman dengan kedaulatan negeri ini karena mempunyai tentara-tentara luar biasa yang siap mati untuk NKRI. Ini bukan sesuatu yang saya lebih-lebihkan karena itu semua pembelajaran dan hikmah bagi saya selama mengenal tentara. Untuk sekedar informasi, sebelum mengikuti ekspedisi ini, sama sekali saya tidak mengetahui tentara itu untuk apa bila keadaan negara kita aman tanpa perang; sama sekali tidak tahu bahwa tentara itu ada tamtama, bintara, dan perwira dengan segala pangkatnya. Menjadi sebuah kebanggaan bagi saya ketika di jalan raya bertemu tentara dengan dua balok merah di lengan bajunya, dan dalam hati saya bilang “itu pangkatnya pratu, prajurit satu yang telah naik pangkat dari prada”. Banyak pengalaman yang luar biasa yang saya dapatkan selama menjadi Tim Ekspedisi Sub Korwil 02/Sanggau. Melihat langsung seperti apa patok perbatasan yang katanya ajaib bisa bergeser-geser; menelusuri sungai untuk memasuki desa di salah salah satu kecamatan di Sanggau; meminum tuak, minuman keras tradisional; mandi dan berenang di sungai dengan arusnya yang kencang; melihat pedagi, tempat ritual warga Dayak di Sanggau, meskipun sekarang hanya sebatas simbol; menempuh perjalanan 6 jam menuju Desa Pala Pasang, Kecamatan Entikong melewati sungai yang terkadang kita harus mendorong perahu supaya jalan karena air sungai surut; dijemput oleh segerombolan warga desa karena kesenangan mereka yang luar biasa kedatangan tim kami; melihat senyum bangga dari seorang tukang ojek di Kabupaten Sekadau sambil berseru sama temannya “jemput orang Jakarta”; tersengat lebah ketika menuju tempat penelitian yang sakitnya bukan main; melihat keoptimisan salah satu warga Entikong yang akan tetap menjunjung tinggi NKRI meskipun di Entikong sedikit ketergantungan dengan negara tetangga; melihat kekayaan yang teramat sangat dari Kalimantan; melihat jahatnya para pendatang yang meraup kekayaan Kalimantan dan menyebabkan kerusakan alam yang begitu parah; dan masih banyak pengalaman-pengalaman lain yang luar biasanya super duper. Bagi saya, bahagianya mengikuti ekspedisi ini setara dengan wisuda bulan Agustus ini, kembali pembenaran untuk menenangkan jiwa :p. Mendengar isu yang berkembang, tahun 2013 akan dilaksanakan kembali Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi. Wowww! Kata itu yang pertama saya keluarkan ketika mendengarnya. Usaha yang sangat bagus untuk lebih mengenal dan menemukan keluarbiasaan lain di Indonesia. Saya sangat berharap ekspedisi tahun depan bisa lebih diikuti oleh banyaknya mahasiswa bahkan pelajar, karena kembali saya katakan, hidup dengan tentara akan menularkan rasa optimis dan nasionalisme terhadap Indonesia. Bagi kalian yang ingin merasakan bagaimana bulu kuduk berdiri dan jantung berdegup kencang ketika mendengar Indonesia Raya, salah satunya ikuti Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi dan ambilah banyak pelajaran dari tentara dan bersiaplah untuk merasa amat bangga dengan Indonesia!