Halaman

Rabu, 23 Maret 2011

Implementasi Pendidikan Kepramukaan dalam Membangun Jiwa Kepemimpinan Setiap Anggota Racana Padjadjaran

ABSTRAK

Maksud dari penelitian kecil-kecilan ini adalah untuk mengetahui sebenarnya bagaimana pendidikan kepramukaan diaplikasikan di Racana Padjadjaran dan bagaimana sebenarnya metode yang dipakai oleh Racana Padjadjaran untuk mengembangkan potensi anggotanya terutama memunculkan dan mengembangkan jiwa kepemimpinan anggota.

Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, hasil penelitian kecil-kecilan ini menunjukan bahwa metode pendidikan di Racana Padjadjaran selaras dengan pendidikan kepramukaan sesuai dengan Kepres Nomor 104 Tahun 2004. Metode pendidikan ini pun ternyata mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anggota racana sekaligus memunculkan jiwa kepemimpinannya.

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ternyata jiwa kepemimpinan bisa muncul dari kelompok-kelompok kecil yang kemudian dari kelompok kecil inilah dituntut untuk berbicara, memberikan pendapat, dan kemudian kebiasaan-kebiasaan berbicara inilah yang terbawa ke kampus bahkan sampai rumah. Selaras juga dengan teori yang dikemukakan Daniel Goleman bahwa kepemimpinan muncul melalui proses berulang-ulang dan dimulai dari hal-hal yang kecil dan dalam ruang lingkup kecil.

Kata kunci :

Pendidikan Kepramukaan, kepemimpinan, Racana Padjadjaran, metode pendidikan Racana Padjadjaran, kelompok kecil,

Kepramukaan

Praja Muda Karana atau yang lebih dikenal dengan akronimnya, Pramuka, merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang meliputi pramuka siaga, pramuka penggalang, pramuka penegak dan pramuka pandega. Pramuka siaga dapat kita temukan di sekolah-sekolah dasar dengan kelompok umur 7-10 tahun, pramuka penggalang dapat kita temukan di sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan kelompok umur 10-15 tahun, pramuka penegak dapat kita temukan di sekolah-sekolah menengah atas dan universitas dengan kelompok umur 16-20 tahun, dan pramuka pandega dapat kita temukan di perguruan-perguruan tinggi yang mempunyai organisasi gerakan pramuka dengan kelompok umur 21-25 tahun. Gerakan pramuka itu sendiri merupakan wadah atau organisasi pendidikan nonformal yang menyelengarakan pendidikan kepramukaan.

Berdasarkan Kepres Nomor 104 Tahun 2004 tentang pengesahan anggaran dasar gerakan pramuka yang memuat di dalamnya anggaran dasar gerakan pramuka, menjelaskan bahwa kepramukaan merupakan cara pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia atau potensi yang dimilki kaum muda, yang dilaksanakan dengan Metodik Kepramukaan. Metodik Kepramukaan diterapkan dalam semua kegiatan dengan cara pengamalan kode kehormatan pramuka; belajar sambil mengerjakan (peserta didik berpartisipasi aktif bersama rekannya dalam setiap kegiatan yang diikitunya); kegiatan kelompok kecil (dilakukan dalam kelompok kecil untuk mengembangkan kepemimpinan, ketrampilan, kelompok, team work, dan rasa tanggung jawab pribadi); dan kegiatan yang dilakukan di alam terbuka di mana terjadi kontak dengan alam seisinya.

Metodik kepramukaan inilah yang diterapkan oleh Racana Padjadjaran, gerakan pramuka di Universitas Padjadjaran, untuk mengembangkan potensi anggotanya termasuk di dalamnya unsur kepemimpinan. Bagi penulis menarik untuk membahas hal ini. Karena sebagian besar orang yang penulis tanya tetang keberadaan gerakan pramuka di universitas, khususnya di Unpad, menganggap itu adalah hal lucu dan konyol. Penulis mendapatkan berbagai jawaban ketika berdiri di depan gerbang Unpad dan bertanya tentang keberadaan gerakan pramuka di Unpad. Mulai dari “emang ada pramuka di unpad?”, “pramuka pramudi? Pramuka jarang mandi?”. Jawaban-jawaban tersebut terlontar dengan ketawa seolah meremehkan. “Itu mah zaman SD kali pramuka, masa kuliah juga ada”. Ada satu poin yang menjadi tanda tanya besar untuk mencoba menganalisis jawaban-jawaban tersebut. Satu, apakah memang Pramuka Unpad ini begitu ”pareumeun” kah sehingga banyak yang tidak tahu -meskipun banyak juga yang tahu- keberadaan gerakan pramuka di Unpad? Ketika penulis konfirmasi hal tersebut kepada Ketua Racana Padjadjaran, Agus Mahardika, beliau menjawab dengan mudahnya ”keun we, nama bagi kami adalah nomor dua. Karena bagi kami, pengembangan anggota jauh lebih penting dan menjadi prioritas kami dibanding dengan dikenal banyak orang. Apalagi dikenal mahasiswa Unpad sendiri, yang sekarang cenderung lebih besar apatisnya”. Jawaban Kang Agus tersebut seakan memberi angin segar bagi penulis untuk meneruskan penelitian kecil-kecilan ini. Mengapa angin segar, karena pengembangan anggota inilah yang penulis bold dalam judul penelitian kali ini, khususnya adalah unsur kepemimpinan.

Kepemimpinan

Kepemimpinan bukan diperoleh dari bakat sejak lahir ataupun dengan mempelajarinya selama beberapa jam pertemuan. Sikap kepemimpinan merupakan sebuah proses yang terus menerus dipelajari dalam tahapan menjadi seorang pemimpin. Baik pemimpin dalam cakupan besar maupu pemimpin untuk dirinya sendiri. Sikap kepemimpinan dalam diri seseorang bukan sesuatu yang sifatnya pasti, tetap, atau juga stagnan. Sikap itu terus membangun diri melalui serangkaian tempaan, sejalan dengan semakin matangnya pola pikir serta kedewasaan sikap. Kepemimpinan tidak akan terlepas dari organisasi. Maksudnya adalah jiwa kepemimpinan seseorang akan tumbuh dan berkembang di lingkungan organisasi. Karena sebagian besar organisasi mempunyai misi untuk mengembangkan jiwa kepemimpinan anggotanya. ”Misi” tersebut biasanya tercurahkan dalam proses kaderisasi yang ditetapkan oleh pengurus organisasi untuk kebaikan organisasi maupun kebaikan masing-masing individu. Begitupun yang terjadi di Racana Padjadjaran Unpad sebagai organisasi kepramukaan di Universitas Padjadjaran. Menurut Peter Drucker, seorang guru manajemen terkenal, mengatakan bahwa pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berfikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya, dan menegakannya secara jelas dan nyata.

Untuk langsung ”ngena” masalah keterkaitan antara proses kaderisasi di Racana Padjadjaran dengan munculnya kepemimpinan seorang anggota racana, penulis langsung mengambil beberapa informan untuk diwawancarai. Ada lima orang yang penulis wawancarai untuk kemudian penulis coba tarik kesimpulan.

Informan pertama bernama Farisa Ulfa yang biasa dipanggil Icca, Fakultas Psikologi 2008. Icca sendiri ternyata sangat merasakan ”kebaikan” yang didapat dari racana untuk mengembangkan dirinya. Icca bukan termasuk orang yang biasa berorganisasi dan mengenal pramuka. Tidak pernah mengikuti organisasi sebelumnya selain KPA, Keluarga Paduan Angklung SMAN 3 Bandung. ”Blah bloh”, Icca menggambarkan dirinya dengan kata itu ketika masuk menjadi mahasiswa baru dan calon anggota di racana. Seiring dengan berjalannya waktu dan proses pendidikan yang dilalui, Icca merasa jauh lebih berkembang untuk meng-explore dirinya. Ketika penulis tanya tentang persentasi pengaruh antara proses di racana dan proses di kampus dalam pengembangan dirinya, Icca menjawab 60% di racana. ”Penulis lebih bisa tampil di depan, bisa mengatur, bisa menyuruh, bisa mempengaruhi, bisa me-lobby, bisa memberikan pendapat, dan bisa memimpin. Akibat racanalah penulis beranidan dipercaya menjadi Ketua Penerimaan Mahasiswa Baru 2010 Fakultas Psikologi. Itu yang penulis dapat di racana. Anehnya adalah proses untuk mencapai kata ”bisa” itu tanpa disadari dan berlangsung begitu saja”.

Informan kedua bernama Ujang Suhendar, Jurusan Perikanan 2009. ”intinya mah Uje sekarang dengan Uje yang dulu beda. Dulu mah Uje sieun buat sekedar ngobrol di depan banyak orang. Sekarang mah insya alloh berani. Pas jadi PJ pengibaran bendera kemarin, memang Uje akuin banyak salah. Tapi dari situ Uje jadi ketagihan jadi PJ. Pengen nunjukin Uje lebih bisa lagi jadi penanggung jawab.” ”Dibawa ke kampus ketagihannya, bahkan ke rumah.” jawaban Uje ketika ditanya ketagihan untuk menjadi penanggung jawab itu berlaku juga di kampus atau tidak.

Informan ketiga bernama Mimin Minhatul Maula, Fakultas Keperawatan 2009. ”Pramuka sebenarnya memang luar biasa. Sempurna. Cuman penulisngnya hanya sedikit orang yang tahu tentang luar biasanya pramuka. Dari SD udah mulai ikut sampai sekarang di Unpad. 10 inti dari Dasha Dharma sebenarmya sudah mewakili seluruh bagian dari hal-hal yang diperlukan untuk hidup bersosial. Bukan hanya kepemimpinan yang bisa didapat di pramuka tapi masih banyak lagi.

Informan keempat adalah Dicky Naufal, Agrobisnis 2005. ”Sangat komples bila berbicara tentang proses pendidikan kepramukaan di Racana Padjadjaran. Memang berindukkan pendidikan kepramukaan namun di Racana Padjadjaran ini semuanya mengalir seperti air. Tidak ada bukti tertulis pola kaderisasi. Tapi langsung konkrit dilaksankan dan penulis rasa sangat tidak bertentangan dengan AD/ART Gerakan Pramuka Indonesia maupun dengan konsep kepanduan Boden Powell. Pola kaderiasi pun tidak tertulis dengan nyata bahwa pola kaderisai Racana Padjadjaran seperti apa. Memang benar racana mempunyai AD/ART namun untuk khusus tentang pola kaderisasi itu tidak ada. Biasanya itu diserahkan kepada angkatan-angkatan atasnya. Angkatan 2008 melihat angkatan 2007, 2007 melihat 2006, dan begitu seterusnya. Untuk masalah munculnya kepemimpinan dari anggota, itu muncul dari proses yang dilalui di racana. Setiap manusia pasti berkembang.

Informan terakhir adalah penulis sendiri yang akan mencoba memberikan pandangan sekaligus analisis tentang jawaban-jawaban keempat informan sebelumnya dikaitkan dengan konsep kepramukaan dan teori kepemimpinan. Informan pertama dan kedua pada dasarnya adalah sama. Masuk racana sebagai gelas kosong yang kemudian diisi oleh proses yang berlangsung di racana. Sesuai dengan salah satu metodik kepramukaan yang menjelaskan bahwa pramuka itu melakukan kegiatan dengan kelompok kecil, di racana pun selalu melakukan kegiatan dengan kelompok-kelompok kecil. Karena memang kebetulan sekali anggota racana itu sedikit dan dari tahun ke tahun anggota baru racana tidak akan lebih dari sepuluh orang. Namun dari kelompok kecil inlah yang kemudian penulis sadari sebagai alasan mengapa anggota gerakan pramuka pada umumnya dan anggota Racana Padjadjaran pada khususnya dapat mengmbangkan dirinya termasuk munculnya jiwa kepemimpinana. Kelompok kecil ini dilakukan untuk mengembangkan kepemimpinan, ketrampilan, kelompok, team work, dan rasa tanggung jawab pribadi.

Menurut teori yang dikemukakan Daniel Goleman, kepemimpinan muncul melalui proses berulang-ulang dan dimulai dari hal-hal yang kecil dan dalam ruang lingkup kecil. Rasanya memang teori ini benar bila dilihat dari fenomena yang terjadi di Racana Padjadjaran. Setiap rapat yang dilakukan tiap hari Jumat, tidak akan pernah didatangi lebih dari 20 orang. Menurut absensi rapat mingguan, rata-rata yang menghadiri rapat adalah 8 orang. 8 orang inilah yang kemudian dituntut untuk berbicara, memberikan pendapat, dan kemudian kebiasaan-kebiasaan berbicara inilah yang terbawa ke kampus bahkan sampai rumah.

Konsep kepemimpinan itu sendiri berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Konsep kepemimpinan ini pun ternyata selaras dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan sebelumnya. Ketika informan pertama mengatakan “........bisa mengatur, bisa menyuruh, bisa mempengaruhi, bisa me-lobby, bisa memberikan pendapat........”. Secara tidak langsung, jawaban tersebut mengatakan bahwa setidaknya informan pertama dan informan ketiga telah menunjukan memiliki jiwa kepemimpinan.

Penulis rasa memang sudah jelas dan jawaban tentang sebenarnya ada apa di Racana Padjadjaran sehingga anggotanya dapat menunjukan taringnya sebagai pemimpin di lingkungan kampus dan keluarga. Dikaitkan dengan teori pun ternyata selaras dan tidak bertentangan. Dan penulis rasa metode pendidikan yang dipakai di Racana Padjadjaran tidak bertentangan dengan pendidikan kepramukaan bahkan cenderung sesuai. Mungkin dengan adanya artikel penelitian kecil-kecilan ini semakin menguatkan bahwa hal yang luar biasa dimulai dengan hal kecil dan biasa. Diharapkan dengan adanya artikel penelitian, orang-orang tidak lagi memandang pramuka dengan sebelah mata. Menurut Wakil Presiden RI, Boediono, untuk membangun karakter bangsa dan keterampilan yang tinggi, pendidikan di Indonesia selama ini dinilai kurang cukup menyeimbangkan antara pendidikan akademis dengan pendidikan non-akademis. Oleh sebab itu, untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan memiliki keterampilan diperlukan pendidikan kepramukaan dan keolahragaan dan kepemudaan untuk dapat ditingkatkan lagi dalam kurikulum sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar