Halaman

Rabu, 16 Maret 2011

Manajemen Konflik

Pengertian Konflik

Dalam wikipedia, ensiklopedia bebas, dijelaskan bahwa konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Definisi konflik dari beberapa ahli :

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.

5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).

9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).

10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381).

Teori Konflik

Masih dari wikipedia, ensiklopedia bebas, teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.

Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis. Kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga. Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan. Berikut tahapan-tahapan dalam manajemen konflik :

· Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.

· Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.

· Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

· Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.

· Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.

Studi Kasus tentang Konflik

Indonesia terdiri dari banyak etnis dan sangat beragam, ada yang bisa hidup berdampingan, namun ada yang menimbulkan konflik. Banyak etnis yang seharusnya penuh dengan kenyamanan, ternyata belum tentu menimbulkan kerjasama dan kenyamanan. Dalam teori konflik, sekali konflik terjadi sulit sekali bisa rekonsiliasi dan tidak mudah. Kenapa konflik yang tidak nyaman ini dilakukan oleh antar etnis atau suku di Indonesia? Pada prinsipnya kriminalitas dan konflik terjadi karena tidak ada ikatan emosional yang kuat. Tidak ada kesepahaman dan kesepakatan bersama antar etnis dan suku. Budaya yang diyakini oleh suku dan etnis seringkali dijadikan alat justifikasi dalam perilaku negatif. Sehingga konflik sering terjadi. Pengetahuan dan informasi yang keliru tentang etnis dan suku lain akan mampu menimbulkan prasangka buruk. Keengganan untuk membuka diri akan lebih menyulitkan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Matsumoto bahwa penjajahan yang berkembang sekarang ini adalah berbentuk knowledge imperialism dalam bentuk pengetahuan dan informasi yang salah dan keliru, informasi yang seharusnya mampu memberikan dampak positif lebih mengarahkan dan membentuk karakter masyarakat memiliki sifat tertutup dan prasangka buruk yang akan menimbulkan dampak negatif.

Pasca kejatuhan rezim orde baru, konflik etnik yang disertai kekerasan mulai sering muncul, membuat kita kembali berpikir soal kebhinekaan Indonesia yang ternyata tidak ika. Imaji Indonesia yang harmonis ternyata tak sepenuhnya benar. Satu per satu peristiwa kekerasan yang memakan korban jiwa muncul ke permukaan. Peristiwa Sampit adalah salah satunya. Konflik etnis yang melibatkan suku Madura-Dayak bermula dari retaknya relasi sosial kedua etnis itu karena persoalan-persoalan sosial dan budaya. Hal itu makin parah ketika hukum tak bisa ditegakkan dan pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap konflik etnis itu.

Menurut Bapak Ifdhal Kasim, konflik di Indonesia zaman sekarang terbagi menjadi dua yaitu konflik yang berdasarkan masalah kultural/etnis dan konflik yang berdasarkan keadaan politik dan ekonomi Dua hal itu ditambah lagi dengan 3 karakter utama masyarakat Indonesia:

1. Mayoritas WNI beragama Islam

Karena Islam adalah agama mayoritas, maka kebijakan pemerintah serta undang-undang dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat minoritas yang memeluk agama non-Islam seringkali menjadi korban ketimpangan kebijakan Pemerintah, padahal harusnya Pemerintah bisa mengakomodir kebutuhan masing-masing agama resmi yang berbeda satu sama lain.

2. Mayoritas etnis yang dominan: Jawa

Mayoritas etnis yang dominan secara tidak langsung ‘menguasai’ kultur umum Indonesia. Etnis lain seperti Minang, Madura, Papua dan lain-lain terpaksa harus menyesuaikan kultur mereka dengan etnis yang mayoritas agar dapat diterima di masyarakat.

3. Hubungan dan budaya dari masyarakat yang dominan mempengaruhi etnis lain dalam masyarakat.

Letak geografis Indonesia sangat mempengaruhi interaksi antar-kelompok. Tidak hanya secara makro (interaksi antar-etnis), masalah juga muncul secara mikro (interaksi antar-suku yang berada dalam pulau/wilayah yang berdekatan). Selalu ada sub-kultur sub-kultur yang tumbuh dalam setiap kelompok masyarakat. Keberagaman suku, etnis, budaya, dan lain-lain memang membentuk Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan dengan karakteristik yang unik namun juga berpotensi menimbulkan konflik antar-suku yang dapat meledak kapan saja, karena masalah suku adalah salah satu masalah yang paling sensitif di Indonesia.

Sumber-sumber Konflik Antar-Etnis

1. Ketimpangan Ekonomi

Konflik Ambon-Maluku. Mudah terjadi karena sudah ada trigger dalam masyarakat Ambon dan Maluku, yaitu ketimpangan struktur sosial yang ada sejak zaman kolonial (kecemburuan sosial). Kebanyakan yang duduk dalam pemerintahan adalah etnis Ambon yang Kristen sedangkan etnis Maluku yang Islam tidak. Terjadi perebutan sumber-sumber kekuasaan karena sarjana Muslim semakin bertambah.

2. Perbedaan Agama Antar Golongan-golongan Masyarakat yang Berkonflik

Karena kecenderungan adanya sebagian golongan dari agama-agama yang ada bersifat ofensif dan agresif dalam menyebarkan agamanya sehingga mengganggu kebebasan beragama bagi agama lain.

3. Adanya Stigmatisasi Antara Kelompok Pendatang dengan Masyarakat Asli

Clash antar-karakter dari masing-masing etnis. Contoh kasusnya adalah kasus kerusuhan di Sambas antara etnis Madura dan suku Dayak pada tahun 1998. Awal mulanya sepele, hanya karena seorang Madura merayu pacar orang Dayak dalam suatu acara pasar malam ditambah dengan penyebaran info yang salah serta adanya provokasi dari berbagai pihak, akhirnya terjadi penyerangan terhadap wilayah domisili Madura. Sebenarnya hal ini juga dipacu oleh ketidaksukaan suku Dayak (masyarakat asli) terhadap orang-orang Madura (kaum pendatang). Sifat orang Madura dianggap terlalu kasar dan menyinggung mereka, jadi konflik ini hanyalah puncak pemicu dari alasan sesungguhnya, yaitu perasaan sentimen terhadap kaum pendatang oleh masyarakat asli setempat.

4. Kebijakan-kebijakan Pemerintah

Kebanyakan kebijakan-kebijakan Pemerintah hanya menguntungkan satu kelompok masyarakat yang dominan. Jika dibandingkan dengan Zaman Orde Baru, konflik etnis yang terjadi pada masa Reformasi ini cenderung lebih memprihatinkan karena angkanya terus meningkat akibat sistem demokrasi yang longgar. Pada zaman Orde Baru, konflik etnis lebih bisa ditekan karena sistem pemerintahan yang militan.

Menurut Ifdal Kasim, Sejauh ini, upaya pemerintah dalam mengatasi konflik antar-etnis adalah melalui:

1. Pemberlakuan Efektivitas Hukum

· Adanya hukum pidana bagi pihak-pihak yang menyebarkan kebencian terhadap kelompok etnis atau agama lain. Hukum ini sudah berjalan, namun belum terlihat bukti signifikannya karena biasanya masalah antar-etnis tidak terekspos.

· Adanya UUD no. 1 tahun 1967 tentang Penodaan Agama. Untuk merekayasa dan mengurangi pengurangan konflik yang berbasis agama. Seperti yang kita tahu, selain etnis dan ras, agama juga merupakan isu sensitif dalam masyarakat Indonesia. Jika ada dua atau lebih golongan agama yang saling bermasalah satu sama lain, maka hal itu dapat mengancam keamanan negara karena orang-orang fanatik rela melakukan apapun untuk membela agama mereka.

2. Membangun/Membuat Program-program Toleransi Beragama

Program-program ini kebanyakan bersifat diam-diam, dalam artian tidak ada sorotan publik mengenai program-program ini. Utusan Negara akan mengajak komunitas-komunitas etnis, ras, dan agama untuk saling berdialog dan memberikan penyuluhan tentang pentingnya toleransi. Bersifat abstrak dan susah dilihat.

3. Mencoba Mengurangi Tingkat Ketimpangan Sosial di Masyarakat

· Terutama memperbaiki ketimpangan ekonomi, karena tingginya tingkat kemiskinan dalam masyarakat dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu.

· Mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mempermudah akses masyarakat miskin untuk mengeksplorasi potensi mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai pengalihan karena jika seseorang menganggur, maka potensi mereka untuk diprovokasi dan menimbulkan konflik akan lebih besar ketimbang jika mereka bekerja.

Tiga poin di atas tadi merupakan gambaran ideal upaya pemerintah dalam mengurangi tingkat konflik antar-kelompok. Pada kenyataannya, program-program rancangan pemerintah juga memiliki kecacatan tersendiri, antara lain:

1. Pempres no. 1 tahun 1967 tentang pencegahan penyesatan oleh kelompok-kelompok agama mengalami kegagalan. Peraturan ini menjadi dasar bagi masyarakat Muslim untuk membubarkan Ahmadiyah (yang berujung pada tindak anarkis dari golongan yang kontra-Ahmadiyah). Peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah konflik malah menjadi pemicu konflik.

2. Aturan Pendirian Rumah Ibadah yang sudah dikoreksi tetap saja menimbulkan konflik karena adanya kesulitan bagi pemeluk agama non-Islam untuk mendirikan rumah ibadah bagi mereka, khususnya di pemukiman yang mayoritas beragama Islam. Jika ingin mendirikan gereja/kelenteng harus mendapat persetujuan (minimal 100 tanda tangan) dari warga setempat, namun jika ada golongan yang mau mendirikan Masjid, peraturan tersebut tidak berlaku. Terlihat jelas adanya ketimpangan disini. Masyarakat non-Muslim harus berjuang keras menghadapi karakter masyarakat yang sulit menerima pendirian rumah ibadah selain rumah ibadah Islam, belum lagi adanya resiko mereka dimusuhi akibat pendirian rumah ibadah agama mereka.

Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik

http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/

http://pusatperdamaian.com/?p=104

http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/12/resume-kuliah-umum-sosiologi-konflik-antar-kelompok-oleh-bapak-ifdhal-kasim-ketua-komnas-ham/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar