Halaman

Rabu, 16 Maret 2011

Partai Politik yang Tak Lagi Representatif

Pendahuluan

Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. (Miriam Budiarjo 1989, hlm 159)

Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.

Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni :

1. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.

2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.

3. Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.

4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Peranan partai politik amat penting bagi proses politik. Keberadaan partai politik merupakan faktor penting bagi pemenuhan kepentingan kelompok masyarakat yang majemuk. Partai politiklah yang menyampaikan informasi rakyat kepada pemerintah, mengartikulaskan kepentingan dan merekrut para calon untuk jabatan politik. Sebaliknya dari sudut umpan balik mereka membantu memastikan bahwa pembuatan peraturan legislatif sudah tepat dan diterapkan dengan baik. Bahkan sebagai penyalur aspirasi rakyat, partai politik sekaligus melaksanakan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan. Di sini partai politik juga melakukan peran sebagai broker (perantara) ataupun mediator antara pemerintah dan masyarakat.

Diantara fungsi-fungsi politik tersebut, fungsi rekruitmen merupakan titik kritis bagi menguat atau melemahnya sistem politik, sebagaimana diutarakan oleh Ranney (1987: 157): “A key activity of parties is thus selecting candidates for elective public office”. Sebagaimana dalam sistem tubuh, dimana jantung adalah organ dalam tubuh yang berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh, maka demikian pula posisi partai politik dalam sistem politik. Jika tumbuhkembangnya partai politik tidak didasarkan pada pembangunan budaya politik yang positif dan hasil rekruitmen “keliru memilih pemimpin”, maka bisa diprediksi “darah” yang beredar dalam sistem politik juga rusak. Di sini terlihat pentingnya posisi partai politik dalam proses demokratisasi bangsa dan sekaligus membangun sistem politik yang lebih baik di masa mendatang. Cara untuk membangun sistem politik adalah melalui penguasaan terhadap pemerintahan, yang dicapai melalui pemilu.

Dari pendahuluan di atas dapat dicari sebuah masalah bahwa apakah pengertian partai politik masih sesuai dengan kondisi partai politik saaat ini? Dan apakah fungsi dan peranan partai politik di atas masih sesuai pula dengan kondisi partai politik saat ini?

Kerangka Pemikiran


Tinjauan Pustaka

partai politik Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik” berasal dari 3 teori yaitu : pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya sistem politik mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat yang luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.

Beliau juga menambahkan definisi partai politik menurut para ilmuwan politik diantaranya menurut Friedrich partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan tersebut akan memberikan kegunaan materil dan idil kepada para anggotanya. Sedangkan menurut Soltau definisi partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat.

Fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu dengan cara ikut pemilihan umum. Partai politik juga melakukan kegiatan meliputi seleksi calon-calon, kampanye dan melaksanakan fungsi pemerintahan (legislatif dan eksekutif).

Diantara fungsi yang lain yaitu melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat, Rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Pemandu Kepentingan, mengatur lalulintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-bankyaknya. Komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Termasuk di dalamnya fungsi representatif.

Menurut Sigmund Neumann (1956), partai representatif adalah melihat bahwa fungsi utamanya adalah mengamankan jumlah suara dalam pemilihan umum. Dengan demikian mereka kemudian berusaha lebih merefleksikan, ketimbang membentuk, opini publik. Dalam pengertian ini, partai representatif menerapkan strategi catch-all dan dengan demikian meletakkan pragmatisme di atas asas dan “riset pasar” ketimbang mobilisasi kerakyatan. Argumen perilaku politik partai seperti itu dapat dipahami berdasarkan model pilihan rasional, sebagaimana digambarkan oleh Joseph Schumpeter dan Anthony Downs, yang memandang politisi sebagai makhluk pemburu kekuasaan yang bersedia menggunakan kebijakan apa saja yang dirasa akan membawanya pada keberhasilan dalam pemilihan umum. edangkan partai integrasi, sebaliknya, menerapkan strategi politik yang proaktif, tidak reaktif; mereka bertindak lebih untuk memobilisasi, mendidik, dan mengilhami massa, ketimbang hanya merespon kehendak massa.

Meskipun Neumann melihat ciri khas partai mobilisator sebagai suatu partai kader yang secara ideologi disiplin, partai massa dapat juga menunjukkan kecondongan mobilisasi. Contohnya, sampai mereka dikecewakan oleh hasil pemilihan umum, partai-partai sosialis berusaha memobilisasi dukungan dengan menyerukan keuntungan bagi rakyat yang mau mendukungnya, lapangan pekerjaan, redistribusi, kesejahteraan sosial, dan sebagainya. Agak ironis, pendekatan ini juga diterapkan oleh Partai Konservatif Inggris di bawah pimpinan Margaret Thatcher pada tahun 1980-an. Mengingkari asas ideologisnya, Thatcher membawa Partai Konservatif menerapkan strategi memotong pajak, mendorong usaha swasta, memajukan tanggung jawab perseorangan, mengambil hati kekuatan serikat dagang, dan sebagainya

Pembahasan

Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional. Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi. (Massad Masrur dalam Proposal Kegiatan Akbar Tandjung Institute, 2007)

Konsepsi partai politik sebagai pilar demokrasi sebagaimana argumen klasik Edmund Burke (1729-1797) tetap menjadi relevan sampai saat ini karena dia telah menjadi sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Titik urgen atas eksistensi partai politik di alam demokrasi adalah kemampuan dirinya sebagai linkage antara citizen dan state (Key Lawson 1988, hlm, 41), lebih lanjut partai politik memerankan dirinya sebagai linkage baik secara langsung maupun tidak langsung (Thomas Poguntke, 2002). Sehingga partai politik mempunyai kemampuan penetrasi (penguasaan jabatan public) tidak hanya dalam konteks orientasi jabatan public atau yang kemudian disebut office, melainkan juga dalam orientasi to drive public policy, sehingga hal ini relevan dengan skema sistem politik ala David Easton (1953) dimana partai pada titik tertentu berada di lajur input (tuntutan dan dukungan) dan pada titik yang lain berada di black box (decision making).

Namun nyawa naluriah partai politik sebagai organisasi power seeking oriented sering kali berbenturan dengan nilai representasi yang juga melekat padanya. Penetrasi di sini mempunyai arti tidak berbeda dengan power seeking oriented. Karena penetrasi sendiri mempunyai dua motivasi berbeda yaitu untuk memproleh jabatan public (eksekutif maupun legeslatif) dan untuk mengendalikan-mempengaruhi kebijakan public (Alistair Clark 2003, Thomas Poguntke 2002, Kay Lawson 1988). Sehingga perbenturan fungsi representasi dan motivasi penetrasi partai politik inilah yang selanjutnya akan kita kupas di sini.

Hannah Pitkin (1967, dalam I Ketut Putra Erawan 2007, hlm.12) membilah representasi menjadi tiga jenis, yaitu representasi simbolik, representasi deskriptif, dan representasi subyektif. Representasi simbolik adalah cara dimana seorang representative ‘berdiri untuk orang (kelompok) yang diwakilinya ang berarti bahwa seorang representatif memiliki apa yang mereka wakili. Representasi deskriptif adalah lebih luas, representatife menyerupai (resemble) apa yang mereka wakili, dan representasubyketif adalah aktivitas representative, yaitu action yang diambil atas nama, atas kepentingan, sebagai agen, dan sebagai pengganti dari yang diwakili. Sehingga sebenarnya partai politik sebagai sebuah organsiasi, kumpulan orang-orang, dengan kesepaktan-kesepakatan yang ada dalam dirinya secara silih berganti mempertukarkan tiga ragam representasi yang dikonseptualisasikan oleh Pitikin tersebut. Hal ini sangat nampak dari jamaknya partai politik di Indonesia menjelang pemilihan umum 1955 ketiak ideologi dan basis konstituen menjadi begitu urgen untuk dipertahankan-diperjuangkan (Herbert Feith ,1954). Seperti Partai Masyumi akan mewakili secara deskriptif maupun simbolik dari basis masa Islam berikut diikuti oleh ideologinya. Begitu juga dengan Partai Komunis Indonesia yang merepresentasikan secara subyektif kepentingan kelas pekerja-petani.

Namun dalam konteks kepartaian dewasa ini kerangka representasi akan lebih tepat jika memakai konseptualisasi Neal Reimer (ed. 1967) yang mengklasifikasi representasi ke dalam empat bentuk yaitu pertama trustee yang berarti analogi bahwaseorang representative adalah dirinya sendiri sehingga memiliki otonomi untuk memutuskan sesuatu karena dia cukup mempunyai kepercayaan dari yang diwakilinya. Kedua adalah delegate yang berarti bahwa kerja dan aksi representative didasarkan pada instruksi dimana mayoritas konstituen mengikatkan diri pada wakil mereka. Ketiga adalah tipe representasi partisan yang berarti bahwa representasi lebih baik mengikuti apa yang dilakukan pemerintah karena berkeyakinan akan menolong partai.

Dan keempat adalah representative sebagai politico yang berarti bahwa aksi representasi didasarkan pada opini public yang sedang berkembang (di media) sehingga konstituen tidan begitu penting di sini karena yang diwakili adalah pendulum isu yang sedang berkembang. Sehingga dari karangka konseptual representasi Neal Reimer tersebut kita mampu membaca beberapa perilaku tidak hanya partai sebagai sebuah organisasi an sich melainkan elit partai politik di dalamnya yang juga konfliktual. Sehingga hal ini dapat menjelaskan fenomena split of political parties elite. Politisi Indonesia seperti Yudi Chrisnandi yang berpindah dari Golkar ke Hanura, Permadi yang pindah dari partai PDIP ke Gerindra, dan politisi ‘pindahan’ lainnya yang notabene senior di partai politik ‘kelahirannya adalah kebingungan dari nilai representasi yang dianutnya dengan motivasi penetrasi yang menjadi orientasi kediriannya. Karena memang tidak bisa dinafikan bahwa motivasi berkuasa untuk memperoleh jabatan public atau office merupakan keniscayaan bagi partai politik maupun politisi yang ada di dalamnya

Dalam hal ini Richard Katz dan Peter Mair (1994) menyatakan bahwa partai politik mempunyai tiga wajah yaitu partai di pemerintahan dan parlemen atau party in public office, partai di tingkat masyarakat akar rumput atau party on the ground, dan partai di tingkatan pusat pemerintahan atau party in central office. Sedangkan secara empirik partai lebih dominan menggunakan wajah party in public office dan party in central office. Hal ini dibuktikan dengan adanya realitas jamak ketika (kantor) partai akan ramai ‘pengunjung’ dan atribut dalam pemenangan pemilihan umum, tetapi sepi sunyi di hari biasa. Realitas ini menunjukkan bahwa partai lebih berkeinginan berwajah office dari pada the ground.

Motivasi partai politik untuk melakukan penetrasi ke office ini memberi konsekuensi konseptual yang kemudian kita sebut dengan party-based government yang memberi justifikasi pada peran partai politik di pemerintahan. Konsekuensi ini memberi implikasi pada partai sebagai aktor utama rekruitmen jabatan politik, partai adalah proponen pembuatan kebijakan public, dan partai juga sebagai aktor utama pengawasan politik (I Ketut Putra Erawan 2007, hlm. 9). Lantas bagaimana dengan dilemma partai yang sudah mempunyai central office face?

Dalam kajian penetrasi partai politik di Jepang dikenal dengan pork barrel politics (Ignasius Ismanto 2008, hlm. 155-157) yang secara harfiah berarti politik tong daging babi (pork) dan secara terminologis berarti sebagai kegiatan yang dilakukan pemerintah (partai penguasa) untuk membangun dukungan politik masyarakat luas atau voters dengan memperkenalkan program-program populis yang dibiayai langsung dari anggaran pemerintah. Praktek pork barrel politics ini secara kasat mata terlihat dari program Biaya Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan oleh SBY (Partai Demokrat sebagai partai pemerintah), sehingga hal ini memberi alasan atas pertanyaan kenapa perolehan suara partai Demokrat meraup tajam pada pemilihan legislative 2009 di Indonesia.

Cross-cutting logic antara konsepsi representasi partai politik dan motivasi penetrasi—sebagai manifestasi orientasi kekuasaan sebagai sifat dasar eksistensi partai politik—inilah yang kemudian memunculkan apa yang disebut dengan transpolitika oleh Yasraf Amir Piliang (2008). Transpolitika diartikan oleh Piliang sebagai bersilang dan bersimbiosisnya prinsip, cara, dan strategi bidang-bidang lain di luarnya, seperti media, budaya popular, dan seksualitas yang membuat prinsip politik itu sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks kepartaian, partai politik mengalami kebingungan akan makna dan value representasi yang diperankan oleh dirinya dengan orientasi memenangkan pemilihan umum untuk melakukan penetrasi ke dalam jabatan publik (parlemen maupun eksekutif). Hal ini mungkin terjadi juga karena environment di luar partai politik seperti sistem pemilu. Karena bentuk mekanisme pemilihan umum sedikit banyak mempengaruhi perilaku partai politik (Pipit Rochijat Kartawidjaja 2003, hlm.3-8). Platform sebagai terjemahan ideologi berakhir pada lembar-lembar leflet dan brosur tanpa ada pengaruh apapun to drive public policy, sementara elit partai politik mengalami pergeseran representasi karena didukung oleh sistem pemilihan umum—political environment outside political parties—dan direct linkage dengan konstituennya.

Tradisi politik dinasti dan politik uang menjadi penyakit kronis partai memang tak terbantahkan. Paling tidak ada lima faktor pendorong (katalisator) penyimpangan itu secara bervariasi: imbas liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik. Konstruksi sistem pemilu yang kian liberal menyebabkan partai-partai membutuhkan kandidat cakada dan caleg yang populer atau memiliki modal finansial mumpuni. Situasi itu menyebabkan faktor popularitas dan kemampuan finansial calon menjadi paling diprioritaskan. Strategi instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana (incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi modal untuk meraup suara. Kegagalan partai mengikat konstituennya juga mendorong para elite politik cenderung mencari siasat untuk menarik konstituen dengan menempatkan cakada dan caleg paling populer sehingga aspek kualitas dan integritas acapkali dilupakan. Sementara cara instan untuk menarik simpati konstituen ditempuh dengan menggunakan kekuatan politik uang. Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme seleksi cakada dan caleg, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial dan popularitas kandidat. Kompetensi, rekam jejak, dan integritas lagi-lagi menjadi pertimbangan terakhir dalam kriteria penjaringan cakada ataupun caleg. (Hanta Yudha, Kompas Juni 2010)

Peluang politik uang dan politik keluarga juga didorong oleh suburnya oligarki dan sentralisasi kebijakan dalam struktur partai. Sistem perekrutan cakada dan caleg tidak dilakukan secara demokratis dan transparan. Sementara mekanisme pemilu internal—yang dapat meminimalisasi peluang politik uang dan politik keluarga—belum menjadi sistem yang terlembaga di partai. Menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader—yang menyebabkan mesin organisasi partai tidak dapat berjalan optimal—juga mendorong suburnya politik uang dan politik dinasti. Pendekatan kekuatan uang dan karisma dinasti dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin organisasi atau pengganti kinerja mesin organisasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Kelima faktor (katalisator) inilah penyebab politik uang dan politik dinasti semakin menggerogoti kelembagaan internal partai dan merusak sendi-sendi demokrasi dan demokratisasi yang sudah berjalan hampir 12 tahun di Indonesia.

Fenomena politik keluarga (politik dinasti) dan politik uang ternyata masih mendominasi panggung politik di daerah. Gejala politik dinasti terlihat dari bermunculannya calon kepala daerah dari kalangan keluarga pejabat yang sedang berkuasa di beberapa pemilu kepala daerah (pilkada). Sementara fenomena politik uang juga masih mendominasi proses politik di pilkada dan rekrutmen calon kepala daerah (cakada) di internal partai. Politik dinasti dan politik uang yang tak sejalan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem rekrutmen partai di negara demokrasi, ternyata justru menjadi karakter utama partai-partai dewasa ini. Pada titik inilah telah terjadi penyimpangan (malfungsi) partai politik, terutama dalam proses pilkada. Padahal posisi partai merupakan institusi paling esensial dan instrumen inti dalam demokrasi modern. Fenomena ini tampaknya memiliki korelasi dengan laporan terbaru Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa sektor keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar akibat kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2010. Menurut data ICW, kasus korupsi keuangan daerah di 2010 telah merugikan negara sekitar Rp 596,23 miliar dari total Rp 1,2 triliun kerugian negara akibat korupsi. Menyebarnya korupsi ke daerah dan banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi jelas mengindikasikan bahwa ada yang keliru dengan sistem dan proses pilkada selama ini. Terutama dalam proses penjaringan dan nominasi kandidat di partai politik sangat dipengaruhi kekuatan uang dan politik keluarga.

Sistem penjaringan kepala daerah yang bertumpu pada kekuatan uang dan oligarki keluarga inilah akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif-nepotisme para kepala daerah. Karena kepala daerah yang membeli “tiket politik” mahal, sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Di titik inilah, korupsi akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan. Sementara politik keluarga akan menyuburkan kultur nepotisme di birokrasi. Karena wajah legislatif dan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, sejatinya adalah potret partai, sebab semua anggota legislatif berasal dari partai dan sirkulasi kepemimpinan eksekutif (gubernur, bupati, dam walikota) juga melalui partai. Dengan situasi maraknya korupsi di daerah dan berbagai institusi saat ini, maka tak berlebihan jika menyematkan posisi partai sebagai biang utama (episentrum) korupsi. Dampak malfungsi partai – politik uang dan politik keluarga – dalam jangka panjang akan mengarah pada “dinastitokrasi dan plutokrasi partai”. Situasi di mana, tradisi politik keluarga di tubuh partai secara sistematis akan mengarah pada “dinastitokrasi partai”– kondisi dimana partai seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai secara turun-temurun. Pada situasi seperti ini, yang paling berpeluang menjadi ketua umum (ketum) hanyalah “pewaris dinasti” atau yang mendapatkan restu dari figur sentral partai (oligarki dinasti). Sementara kultur politik uang di tubuh partai, akan mengarah pada “plutokrasi partai” -- kondisi dimana partai dikuasai oleh kekuatan “oligarki uang” – dan pada situasi seperti ini yang paling berpeluang menjadi ketum partai hanyalah para pemiliki modal (saudagar politik). Kondisi ini tentu akan membahayakan masa depan demokrasi dan desentralisasi di Indonesia yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini, harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai, dan mereformasi partai merupakan agenda mendesak bangsa Indonesia.

Kesimpulan

Memburuknya citra parpol di mata rakyat merupakan akibat dari perilaku para politikus partai yang selama ini mengecewakan rakyat. Seharusnya, parpol sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Namun pada kenyataannya, hal itu hanya sebatas ucapan. Cara pandang kebangsaan tampak telah ditanggalkan dari aktivitas politik mereka. Berbeda dengan politisi tahun 1950-an, kebanyakan para politikus partai sekarang ini memiliki cara pandang sempit, pragmatis-oportunistis mengejar kepentingan sempit sesaat. Akibatnya, tidak tersisa lagi motif penegakan nilai-nilai demokrasi untuk kemajuan peradaban bangsa.

Akhir-akhir ini bahkan terjadi praktik politik yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Komersialisasi jabatan politik semakin marak dilakukan. Partai politik dijadikan tak lebih sebagai alat untuk transaksi bisnis. Hal ini terjadi baik di ajang pemilu ting- kat nasional ataupun di tingkat daerah. Perihal komersialisasi jabatan politik ini, telah banyak bukti terverifikasi. Mundurnya Nurcholish Madjid dari konvensi partai Golkar tahun 2003 karena keharusan menyediakan “gizi” merupakan kasus nyata praktik komersialisasi jabatan politik di panggung politik nasional. Sedangkan di tingkat daerah, terjadi di hari-hari terakhir ini. Pengakuan Jasri Marin dan Slamet Kirbianto tentang “uang perahu” yang diberikan mereka kepada salah satu partai kontestan pilkada DKI membuktikan adanya komersialisasi jabatan politik di tingkat daerah.

Ketiga bukti tersebut diyakini merupakan fenomena gunung es. Praktik komersialisasi jabatan politik dicurigai terjadi di hampir setiap pilkada dan di setiap proses politik lainnya di internal parpol, serta dilakukan oleh banyak parpol.
Dengan “ideologi” pragmatis-oportunistis, para politikus partai tidak lagi memiliki niat menjalankan tugas kepolitikan mereka, yaitu, memperjuangkan kebaikan umum, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Mereka telah abai terhadap rakyat. Terkatung-katungnya interpelasi lumpur Lapindo di DPR merupakan contoh mutakhir dari ketidakpadulian politikus partai terhadap rakyat. Mereka juga tidak lagi memerankan diri sebagai saluran aspirasi rakyat. Parpol sekarang lebih terlihat sebagai saluran pemilik uang untuk meraih jabatan politik atau untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Maka tak heran jika produk-produk legislasi yang dikeluarkan DPR, misalnya, sering kali merupakan “produk pesanan” yang hanya menguntungkan pemesan, dan merugikan rakyat secara keseluruhan. Berbagai perilaku para politikus partai tersebut pada akhirnya membuat parpol terlihat seperti telah bermetamorfosa. Parpol telah mengubah dirinya menjadi seperti institusi bisnis murni. Yang mereka pikirkan hanyalah pertukaran (exchange), laba, dan penumpukan kekayaan.

Mencermati kondisi yang memprihatinkan ini, diperlukan upaya-upaya perbaikan terhadap parpol. Tujuan akhirnya, agar rakyat tetap percaya terhadap demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang baik sekarang ini. Langkah-langkah reformasi tidak hanya menyangkut citra, tetapi berbagai hal di dalam parpol secara keseluruhan. Pertama, visi, platform, dan program partai perlu diperjelas. Seluruh SDM di parpol tersebut perlu memahami bagaimana cara memperjuangkan atau merealisasikannya. Kedua, proses-proses politik di internal parpol perlu dilakukan secara demokratis. Hal ini amat penting demi tetap terpeliharanya iklim demokrasi di republik ini. Mekanisme kepemimpinan dan perekrutan harus berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi, seperti partisipatif, jujur, adil, akuntabel, dan transparan serta bebas money politics. Selain itu, parpol juga perlu benar-benar menjalankan pendidikan politik bagi rakyat, sosialisasi politik, dan komunikasi politik yang baik. Ketiga, moralitas para politikus partai perlu diperbaiki. Perilaku mengejar kepentingan sempit sesaat dan praktik komersialisasi jabatan politik perlu segera dihentikan. Parpol harus menerapkan sanksi yang tegas, hingga pemecatan, kepada pemimpin, pengurus dan kadernya yang masih tetap melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Keempat, perlu dilakukan regenerasi. Unsur pimpinan dan pengurus parpol yang telah memasuki masa tua sebaiknya “lengser” atau “dilengserkan”, tentunya melalui proses yang demokratis. Selanjutnya, kalangan muda parpol tampil di atas. Tampilnya kaum muda dalam kepemimpinan parpol akan membawa “darah segar” dan inspirasi baru. Kehadiran mereka juga akan memunculkan harapan baru dan perbaikan citra di mata rakyat. Terakhir, parpol perlu mulai turut merumuskan arah bangsa. Sebagai institusi pencetak dan perekrut pemimpin bangsa, parpol perlu memiliki konsep ba- gi masa depan bangsa. Kecenderungan menempatkan parpol hanya sebagai komoditi harus dihentikan. Sebagai catatan akhir, terbukanya keran calon perseorangan yang membuka “borok” parpol harus disikapi dengan upaya reformasi secara cepat dan tepat. Parpol perlu melakukan langkah-langkah perbaikan di atas secara radikal. Selain untuk menyelamatkan demokrasi dan menghindarkan kehidupan bangsa dari deparpolisasi, juga untuk menyelamatkan parpol sendiri dari bahaya ditinggalkan rakyat. Potret buram yang ada di parpol sekarang ini perlu dibersihkan agar parpol tetap bisa eksis dalam iklim persaingan yang lebih sehat setelah terbukanya kran calon perseorangan.

Daftar Pustaka

Clark, Alistair. 2003. Parties and Political Linkage: Toward a Comprehensive Framework for Analysis. Paper Prepared for PSA Annual Conference, University of Leicester 15-17 April 2003.

Erawan, I Ketut Putra. 2007. Rekonseptualisasi Representasi bagi Indonesia. Sebuah Working Paper disampaikan di Partnership of Governance Meeting Room, Jakarta.

Feith, Herbert. 1954. Toward Elections in Indonesia. Pasific Affairs, Vol.27, No.3., hlm. 236-254. University of British Columbia.

Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Ismanto, Ignasius. 2008. Dinamika Politik Menejelang Pemilu 2009. Analisis CSIS: Modernisasi Partai Politik Indonesia di Alam Demokrasi. Vol.37, No.2., hlm. 140-160.

Kartasidjaja. Pipit Rochijat. 2003. Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih. Jogjakarta: ElSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Lawson, Kay. 1988. When Lingkage Fails, chapter on When Parties Fail: Emerging Alternative Organization. Princeton University Press.

Piliang, Indra J. 2008. Partai Politik dan Demokrasi Deliberatif. Analisis CSIS: Modernisasi Partai Politik Indonesia di Alam Demokrasi. Vol.37, No.2., hlm. 243-266.

Piliang, Yasraf A. 2005. Trnaspolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Jogjakarta: Jalasutra.

Poguntke, Thomas and Webb, Paul. 2005. The Presidentialization of Politics: A Comparative Study of Democracy. Oxford University Press.

Reimer, Neal. 1967. The Representative: Trustee, Delegate, Partisan, Politico?., D.C Heath and Company Boston

Budiardjo, Miriam, 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Surbakti, Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo

Internet

http://nasional.kompas.com/read/2010/06/28/08244331/Penyimpangan.Partai.Politik

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Politik

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/08/17/peran_partai_politik~2824340/

http://www.answers.com/topic/party-organization

Tidak ada komentar:

Posting Komentar